Senandung Sendu Pengusaha Sepatu PIK
JAKARTA – Menjamurnya swalayan dan mal secara tidak langsung memukul pengusaha home industry di Jakarta. Salah satunya melanda pengusaha sepatu yang mengais rezeki di kawasan Perkampungan Industri Kecil (PIK) di Penggilingan, Jakarta Timur.
Harga produk yang ditawarkan para pengusaha papan bawah ini kalah
bersaing dengan yang disuguhkan di swalayan maupun mal.
Kondisi ini membuat masa kejayaan pengusaha yang mangkal di
PIK Penggilingan, Jakarta Timur seperti di tahun 2000-an
kini tinggal kenangan belaka. Namun, kondisi itu berbeda
dengan pengusaha konveksi yang malah bisa dikatakan panen
order, apalagi menjelang tahun ajaran baru.
Muhamad Faisal, pengusaha sepatu di PIK Penggilingan, Jakarta Timur
menyebutkan, kondisi persepatuan di kawasan itu kian terpuruk
saja. Padahal, mereka sudah menaruh harga murah. “Kami
sudah membuka harga paling murah, seperti halnya harga
sepatu wanita Rp 20.000 hingga Rp 50.000. Sepatu
perkantoran untuk pria mencapai Rp 50.000 hingga Rp
100.000,” katanya.
Sayangnya, harga murah itu belum bisa bersaing dengan barang pabrik
yang dijual di swalayan serta mal yang bertebaran di hampir
sudut Jakarta.
Mutunya pun kalah bersaing dengan produk pabrik. Hal itu yang
membuat penghasilan para pedagang di kawasan PIK turun drastis.
Faisal asal Padang, Sumatera Barat sudah sejak 1991 membuka usaha
sepatu di PIK mengungkapkan, omzetnya menurun sejak tahun 2006.
Di tahun 2004 omzetnya setiap hari bisa mencapai Rp 2 juta
lebih. Kini, untuk meraup setengahnya saja sudah susah.
Untuk mendapatkan Rp 300.000 per hari saja sudah sangat
sulit.
Bahkan, di hari libur panjang seperti Kamis (17/5) lalu hingga hari
Minggu (20/5) ternyata tidak mampu mendongkrak omzet penjualan
sepatunya yang hanya mencapai Rp 1 juta per hari. Hal itu
tejadi karena warga Jakarta kini tidak lagi menjadikan PIK
di Penggilingan, Jakarta Timur sebagai tempat berbelanja
ketika hari libur panjang tiba.
Mereka malah condong berlibur sekalian belanja ke Bandung, Jawa
Barat. Apalagi jarak tempuh mobil melalui tol Cipularang ke Bandung
hanya dua jam saja. Kondisi produk-produk industri kecil
di Kota Kembang itu tidak kalah dengan Jakarta. Apalagi
Bandung dikenal dengan produk sepatunya di kawasan
Cibaduyut.
Keluhan itu juga dilontarkan Neni Wardhana, pengusaha sepatu di
kawasan PIK. Guna mengejar omzet setiap harinya dia terpaksa
memeras otak untuk memadukan hasil industri dari kawasan
Jakarta dengan Bandung. “Hal itu tampaknya sedikit menarik
minat pembeli,” ujarnya.
Perpaduan produk Bandung dengan daerah lain membuat para pembeli
bebas memilih sepatu yang dibutuhkan. Sementara itu, para konsumen
juga berpikir dua kali untuk membeli produk sepatu: untuk
apa beli langsung di Bandung bila produk serupa ternyata
ada di Jakarta. Belum lagi ongkos perjalanan darat dari
Jakarta ke Bandung yang juga tidak murah banget.
Melalui pertimbangan seperti itu akhirnya pelanggan ada pula yang
kembali lagi belanja di PIK. Begitu juga dengan konsumen yang
baru datang dari daerah ingin mengetahui kawasan PIK saat
ini. Dengan begitu akhirnya para pendatang dari daerah
belanja sepatu di kawasan tersebut.
Seperti yang dialami Maria Adriana warga asal Pontianak, Kalimantan
Barat. Saat datang ke PIK ia ingin tahu dan belanja beberapa
perlengkapan sehari-hari untuk alat kerja. Karena ia
mendengar kabar bahwa barang-barang di PIK harganya lebih
miring dibanding di kawasan perbelanjaan yang lain.
Kondisi lesu di industri sepatu ternyata jauh berbeda dengan situasi pengusaha kecil konveksi di PIK. Pasalnya, pengusaha konveksi ini mempunyai waktu tertentu untuk diburu konsumen. Hal itu sudah terbaca oleh para pengusaha konveksi: kapan bisa meraup keuntungan, dan bila mana akan paceklik.
Dalam kurun waktu April hingga Juli, pengusaha konveksi kebanjiran order. Pasalnya, banyak konsumen yang memesan kaus maupun baju yang harus disablon karena bertepatan dengan tahun ajaran baru sekolah dasar, sekolah menengah pertama (SMP) maupun SMU dan perguruan tinggi.
Banyaknya pemesan kaus di kawasan industri PIK membuat pengusaha konveksi harus menambah karyawan.
Lain halnya dengan pengusaha sepatu yang dulunya mempekerjakan sekitar 15 orang kini tinggal lima orang. Sementara itu, pengusaha konveksi setelah kebanjiran order dulunya mempekerjakan lima orang, kini harus menambah dua kali lipatnya.
Meluapnya pemesanan kaus kali ini diakui Upik Sasmita, pengusaha konveksi di kawasan PIK. “Pesanan kaus di tempat kami mulai ramai sejak April dan kemungkinan berjalan hingga Juli. Karena di bulan-bulan tersebut bertepatan dengan persiapan tahun ajaran sekolah baru. Dengan begitu ada kalanya pelanggan memesan kaus lebih dulu sebelum menerima murid baru,” ujarnya. n [sumber dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/26/jab07.html]